MENIKAH?

21.42 4 Comments A+ a-

menikah?

Ketika seseorang, entah ibu-teman-pacar-orang yang tidak dikenali, bertanya, “Kamu mau menikah di usia berapa?” sebenarnya saya hanya bisa tersenyum. Lalu mengalihkan topik pembicaraan lain yang menurut saya lebih menyenangkan.

Sesungguhnya, saya pun tidak tahu di usia berapa saya akan menikah. Saya memang pernah berencana untuk menikah di usia segini, segini, dan segini. Namun setelah saya berbicara dengan dinding kamar, cermin, boneka, dan segala benda di sekitar, saya pun menyadari bahwa pernikahan itu adalah misteri. Kita semua bisa berencana, namun apakah akan sejalan dengan  keinginan Tuhan?

Pernah suatu hari saya berpikir untuk menikah muda dengan kekasih yang saya cintai. Dahulu, jauh ketika saya belum membuat blog ini. Mendukungnya untuk memulai suatu usaha sambil menata rumah tangga. Usaha A hingga Z. Saya hanya bisa memberikannya semangat seraya mendoakan. Namun usaha itu hanya rencananya. Dan pernikahan yang pernah ia janjikan, juga hanya angan belaka. Saya kecewa. Saya merasa bodoh. Saya belum mampu membuatnya bahagia dan melupakan masa lalunya.

“Apakah dekat-dekat ini kamu mau menikah?” tanya seorang manager HRD.

Saya terdiam sejenak. Wawancara demi menjadi karyawati baru ini begitu... oh tidak.

“Sepertinya tidak (namun saya tidak bisa berjanji karena ini adalah misteri. Bagaimana jika jodoh saya dekat-dekat ini, bu? – kelanjutan ini saya katakan di dalam hati).”

“Oh, bagus. Ya sudah, mulai minggu ke ini, kamu masuk kantor saja, ya.”

Memasuki kantor baru, mengenal orang-orang baru, dan kembali dikejutkan dengan kenyataan. Saya adalah karyawati termuda, lainnya sudah berusia di atas 25 tahun. Banyak karyawati yang telah berumur 30 tahun namun belum menikah, meski sebelumnya saya menebak mereka baru berusia 25 tahun. Mereka terlihat lebih muda, pintar, dan sebagian masih menggapai cita-cita untuk menikah. Sebagian lagi terlihat masih tidak acuh dengan status. Itu hak mereka. Dan kejadian ini membuat saya berpikir, akankah saya akan menjadi perempuan pecinta karir seperti mereka?

Seorang sahabat dahulu pernah menginginkan untuk menikah muda. Namun di lain hari ia berkata bahwa ia tidak ingin menikah. Saya tahu, rasa sakitnya terhadap masa lalu masih menggumpal. Saya merasakannya. Haruskah saya mengikuti keputusannya? Saya tidak tahu.

Satu persatu teman menikah. Undangan demi undangan mereka sebar. Saya tersenyum. Umur saya ternyata sudah tidak kembali remaja. Usia yang dahulu Mama putuskan untuk menikah dengan Papa. Usia yang masih menguji saya untuk menjadi seseorang yang lebih dewasa, tidak manja, mandiri, dan selalu bijaksana. Usia yang sulit. Usia yang masih beberapa bulan lagi tercapai.

“Mau menikah di umur berapa?” tanya seseorang di kala malam. Seseorang yang baru saya kenal dan kagumi sekali. Seseorang yang telah sukses dan barangkali telah menjadi calon menantu idaman setiap mertua. Mapan, bersahaja, terkenal, walau saya baru mengenalnya pasca menonton sosok itu di sebuah program TV bergengsi.

Saya hanya menjawab sekenanya. Ia pun tertawa seraya mendoakan saya.

Dik, saya tidak tahu kamu ini sedang becanda atau tidak. Bahkan saya tidak tahu apakah pembicaraan selama dua hari non-stop ini hanya sebuah rangkaian permodusan ala ‘remaja’. Atau memang ini hanya sebuah percakapan dari dua orang yang baru saling mengenal? Saya tidak mau berpikir buruk. Pun berpikir yang baik-baik. Saya mencoba netral. Walau sulit.

Dik, kamu bilang saya tidak seperti orang kebanyakan. Memang benar. Namun saya pun seperti orang kebanyakan. Alasannya? Oh, begitu sulitnya saya menuliskannya di sini.

Dik, saya masih tidak percaya seseorang seperti dirimu mampu membuat saya tersenyum dan berani menceritakan hal-hal yang seharusnya sudah ditutup rapat.Terimakasih atas dua hari kemarin.

Maafkan saya yang masih terlalu ragu untuk menjawab pertanyaan tentang kapan saya akan menikah. Saya tidak tahu. Saya pasrah. Saya sudah terlalu lelah untuk selalu menentukan segalanya. Saya tidak tahu kapan akan memiliki teman sehidup semati. Namun tak usah khawatir, di tulisan saya selanjutnya, akan ada cerita tentang bagaimana yang akan saya lakukan jika saya telah menemukan dia-yang masih entah di mana.

Dan saya pun masih meragukan, kepada siapa saya akan menitipkan cinta.




4 komentar

Write komentar
pandusatrioo
AUTHOR
14 Februari 2014 pukul 21.58 delete

*tepuk tangan*
tapi kalau kata-kata "Saya Pasrah" kayanya saya ngga setuju deh, soalnya pasrah itu kan berarti sudah tanpa usaha, padahal ... segala sesuatu yang baik dihasilkan dengan adanya usaha. Semangat ka pin!

Reply
avatar
14 Februari 2014 pukul 23.33 delete

Aku kurang setuju. Bedakan antara "pasrah" dan "menyerah". Justru pasrah itu ketika kamu udah usaha, kemudian memasrahkan hasilnya kepada Tuhan. Sementara menyerah, kamu belum berusaha tapi udah pesimis duluan. :)

Mungkin bisa jadi referensi, ini yang aku temuin di artikata.com tentang definisi kata "pasrah":
1. menyerah(kan) sepenuhnya: marilah kita -- kpd takdir dng hati yg tabah; ia -- kpd apa yg akan diputuskan oleh pengadilan.

Soal penggunaan bahasa selalu bikin aku penasaran sih. CMIIW ya. Thank you. :))

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
15 Februari 2014 pukul 02.13 delete

Jujur nih jadi serem bacanya kak :l
Emang segitu rumitnya ya jika usia kita sudah di atas 20 tahun ?

Reply
avatar
IYAH
AUTHOR
23 Juli 2014 pukul 11.01 delete

umur Iyah sekarang 17 kak, dan sejak lama sudah berpikir nikah muda, entah itu setelah sarjana atau pun ketika kuliah. membaca tulisan kapin iyah jadi sedikit tergoyahkan akan terwujudnya nikah muda tersebut. tpi jika jodoh sudah di gariskan, Insya Allah kita semua dapat yang terbaik kak, Amiin.

Reply
avatar