Anak Kecil yang Bisa Membuat Anak Kecil

19.29 4 Comments A+ a-



Awalnya cium kening, tidak lama kemudian mungkin cium yang lain.

Ia bernasib sama denganku, mengikuti jejak untuk menjadi seorang ibu muda karena terpaksa. Aku menangis. Sebagai seorang kakak aku gagal untuk membimbingnya menjadi seorang perempuan yang baik. Seharusnya aku bilang padanya bahwa bersilaturahmi dengan kelamin itu hanya enak pada lima menit pertama. Seharusnya aku bilang padanya bahwa bersilaturahmi dengan kelamin itu lebih banyak kerugiannya jika dilakukan oleh pasangan yang masih berstatus sama seperti seekor babi. Seharusnya aku begini. Seharusnya aku begitu. Ah, seharusnya!!!

Kira-kira dimana mereka bisa bersilaturahmi kelamin? Jangan-jangan di kolam renang itu seperti aku dan dirinya [yang kini telah menjadi suamiku] dulu?


***

Ia sudah besar. Sudah hampir tujuh belas tahun aku memuntahkannya ke dunia. Aku sayang dengannya. Namun aku kurang beruntung. Aku belum sempat membelai, memeluk dan menciumnya secara langsung. Ingin rasanya aku berbisik padanya setiap kali dia terlelap tidur, “Nak, jika nanti kamu menjadi seorang ibu, aku sangat berharap kamu tidak bernasip sama seperti ku yang hanya bisa mengeluarkanmu tanpa menyentuhmu”

Aku tidak kecewa dengannya. Aku hanya kecewa dengan ayahnya. Kemana saja dia hingga kedua anakku bernasip sama? Tak adakah hatinya tergerak untuk membimbing mereka agar menjadi anak kebanggaan aku dan dia? Hatiku terasa dicambuk jutaan kali. Aku tidak tega melihat anak-anakku menjadi seorang ibu karena terpaksa. Mereka belum siap menjadi seorang ibu. Ah, dasar ayah tidak tahu diuntung! Istri barumu saja terus yang kau pelihara!

Aku ingin menyetuhnya. Aku ingin membelainya. Aku ingin menciumnya. Aku ingin memeluknya!!!!!

Andai saja aku bisa bernegosiasi dengan malaikat maut. Aku hanya ingin ke pangkuan-Nya setelah berhasil membimbing kedua anak gadisku. Ah, tidak, mereka sudah tidak gadis.

Anakku, mengapa kalian harus terlena dengan kata-kata manja pemuda-pemuda itu?

***

Gadis kecil itu akhir-akhir ini selalu memakai baju gombrong. Tubuh kurusnya kini agak berisi. Mungkin dia sedang diperkosa oleh hormon yang berlebihan. Atau diperkosa oleh nafsu makan yang berlebihan.

Setiap aku melihatnya, ia pasti selalu berada di posisi yang sama. Duduk di depan rumahnya yang berada di dalam suatu gang sempit sambil memencet sebuah telepon tanpa kabel. Ia selalu tersenyum sendiri. Seharusnya pagi ini gadis seumuran dia sedang menikmati ceramah seorang guru di dalam kelas. Namun realitanya dia malah asyik menikmati rayuan dari seorang pemuda melalui pesan singkat.

Suatu saat nanti aku akan menjadi sepertinya.

Duduk pula seorang janda tua berusia kurang lebih tujuh puluh tahun. Wajahnya menurutku sangat seram, mungkin seperti Mak Lampir. Mulutnya tidak pernah libur untuk menyinyir setiap orang yang ada di dalam hidupnya. Termasuk si gadis yang sedang duduk di depannya itu.

“Nikah siri tuh emang secara agama dibolehin. Tapi tetep aja kalo di dalem perut udah ada janin, nggak bakalan sah!” Kata si Mak Lampir itu.

“Yeee bodo amat, yang penting nikah siri bisa bikin gue legaan dikit!” bela si Gadis sambil meletakkan paha kanannya ke atas paha kiri.

“Ya tetep aja meski udah nikah siri, dosa lo tetep nempel!”

“Itu urusan gue! Gue yang kawin, kenapa lo yang ribet?”

“Yeee lo mah dibilangin orangtua ngeyel mulu, sih! Lagian dimana-mana, nikah dulu baru kawin!”

“Masalah buat lo?”

“Tau ah!”

“Kawin tuh emang enak. Kalo nikah sih, gak tau deh. Gue kan belom nikah.”

“Orang gila!”

“Yeee emang bener, kan? Enakan kawin daripada nikah!”

“Tapi gak sampe ‘jadi’ juga kali!”

“Yeeee namanya juga udah keenakan!”

“Wong edan!”

“Makanya, kawin ! Udah pernah kawin belom? Pokonya kawin itu enak, lebih enak daripada nikah malah katanya!”

Ternyata gadis itu sudah tidak gadis lagi. Tunggu, bukankah ia belum genap berusia tujuh belas tahun? Jadi kini di dalam badannya sudah tertanam bibit dari seorang pemuda yang kulihat di dalam foto itu?

Bagaimana bisa, seseorang yang masih ku anggap masih kecil bisa membuat anak kecil ?

Sudah lama aku melihat foto-foto di Facebooknya yang selalu memperlihatkan kemesraan yang berlebihan. Ia, sang gadis yang seharusnya tidak perlu aku sebutkan lagi sebagai seorang gadis, mungkin sudah tidak memiliki urat malu untuk memamerkan foto panasnya bersama sang kekasih. Pelukan, masih aku anggap wajar. Cium pipi, oh aku masih bisa menerima. Cium bibir? Lalu... Menggigit kecil leher sang pacar? Sudah pantaskah seorang perempuan yang belum menjadi dewasa berbuat seperti itu ? Tunggu, kalaupun ia sudah dewasa, aku pun tidak menginginkan ia melakukan bahkan memamerkan hal itu kepada publik. Apa manfaat yang dapat kita ambil dari foto itu? Bukankah yang ada hanya perasaan jijik, marah, horny atau ingin memakinya? Bukankah berdampak dosa bagi yang melihatnya? Bukankah itu aib? Bukankah aib harus ditutupi?

Tuhan, jangan sampai aku terlena sepertinya!

Jakarta, 5 November 2012 Pukul 22.00 WIB
Sebuah kisah dari keluarga yang membuatku ingin mengurut dada

Sumber Gambar 



4 komentar

Write komentar
Miftah
AUTHOR
17 Mei 2014 pukul 04.59 delete Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
avatar
Miftah
AUTHOR
17 Mei 2014 pukul 05.05 delete

Fenomena sekitar banyak yg begini. Malah-malah masih di bawah 15 tahun udah .. (you know what I mean lah)

Reply
avatar