MENIKAH?
menikah? |
Ketika seseorang, entah
ibu-teman-pacar-orang yang tidak dikenali, bertanya, “Kamu mau menikah di usia
berapa?” sebenarnya saya hanya bisa tersenyum. Lalu mengalihkan topik
pembicaraan lain yang menurut saya lebih menyenangkan.
Sesungguhnya, saya pun tidak tahu di
usia berapa saya akan menikah. Saya memang pernah berencana untuk menikah di
usia segini, segini, dan segini. Namun setelah saya berbicara dengan dinding
kamar, cermin, boneka, dan segala benda di sekitar, saya pun menyadari bahwa
pernikahan itu adalah misteri. Kita semua bisa berencana, namun apakah akan
sejalan dengan keinginan Tuhan?
Pernah suatu hari saya berpikir untuk
menikah muda dengan kekasih yang saya cintai. Dahulu, jauh ketika saya belum
membuat blog ini. Mendukungnya untuk memulai suatu usaha sambil menata rumah
tangga. Usaha A hingga Z. Saya hanya bisa memberikannya semangat seraya
mendoakan. Namun usaha itu hanya rencananya. Dan pernikahan yang pernah ia
janjikan, juga hanya angan belaka. Saya kecewa. Saya merasa bodoh. Saya belum
mampu membuatnya bahagia dan melupakan masa lalunya.
“Apakah dekat-dekat ini kamu mau
menikah?” tanya seorang manager HRD.
Saya terdiam sejenak. Wawancara demi
menjadi karyawati baru ini begitu... oh tidak.
“Sepertinya tidak (namun saya tidak
bisa berjanji karena ini adalah misteri. Bagaimana jika jodoh saya dekat-dekat
ini, bu? – kelanjutan ini saya katakan di dalam hati).”
“Oh, bagus. Ya sudah, mulai minggu ke
ini, kamu masuk kantor saja, ya.”
Memasuki kantor baru, mengenal
orang-orang baru, dan kembali dikejutkan dengan kenyataan. Saya adalah
karyawati termuda, lainnya sudah berusia di atas 25 tahun. Banyak karyawati yang
telah berumur 30 tahun namun belum menikah, meski sebelumnya saya menebak
mereka baru berusia 25 tahun. Mereka terlihat lebih muda, pintar, dan sebagian
masih menggapai cita-cita untuk menikah. Sebagian lagi terlihat masih tidak
acuh dengan status. Itu hak mereka. Dan kejadian ini membuat saya berpikir,
akankah saya akan menjadi perempuan pecinta karir seperti mereka?
Seorang sahabat dahulu pernah
menginginkan untuk menikah muda. Namun di lain hari ia berkata bahwa ia tidak
ingin menikah. Saya tahu, rasa sakitnya terhadap masa lalu masih menggumpal. Saya
merasakannya. Haruskah saya mengikuti keputusannya? Saya tidak tahu.
Satu persatu teman menikah. Undangan demi
undangan mereka sebar. Saya tersenyum. Umur saya ternyata sudah tidak kembali
remaja. Usia yang dahulu Mama putuskan untuk menikah dengan Papa. Usia yang
masih menguji saya untuk menjadi seseorang yang lebih dewasa, tidak manja,
mandiri, dan selalu bijaksana. Usia yang sulit. Usia yang masih beberapa bulan
lagi tercapai.
“Mau menikah di umur berapa?” tanya
seseorang di kala malam. Seseorang yang baru saya kenal dan kagumi sekali. Seseorang
yang telah sukses dan barangkali telah menjadi calon menantu idaman setiap mertua. Mapan,
bersahaja, terkenal, walau saya baru mengenalnya pasca menonton sosok itu di
sebuah program TV bergengsi.
Saya hanya menjawab sekenanya. Ia pun
tertawa seraya mendoakan saya.
Dik, saya tidak tahu kamu ini sedang becanda atau tidak. Bahkan saya
tidak tahu apakah pembicaraan selama dua hari non-stop ini hanya sebuah
rangkaian permodusan ala ‘remaja’. Atau memang ini hanya sebuah percakapan dari
dua orang yang baru saling mengenal? Saya tidak mau berpikir buruk. Pun berpikir
yang baik-baik. Saya mencoba netral. Walau sulit.
Dik, kamu bilang saya tidak seperti orang kebanyakan. Memang benar. Namun
saya pun seperti orang kebanyakan. Alasannya? Oh, begitu sulitnya saya
menuliskannya di sini.
Dik, saya masih tidak percaya seseorang seperti dirimu mampu membuat saya
tersenyum dan berani menceritakan hal-hal yang seharusnya sudah ditutup rapat.Terimakasih atas dua hari kemarin.
Maafkan saya yang masih terlalu
ragu untuk menjawab pertanyaan tentang kapan saya akan menikah. Saya tidak
tahu. Saya pasrah. Saya sudah terlalu lelah untuk selalu menentukan segalanya.
Saya tidak tahu kapan akan memiliki teman sehidup semati. Namun tak usah
khawatir, di tulisan saya selanjutnya, akan ada cerita tentang bagaimana yang
akan saya lakukan jika saya telah menemukan dia-yang masih entah di mana.
Dan saya pun masih meragukan,
kepada siapa saya akan menitipkan cinta.
4 komentar
Write komentar*tepuk tangan*
Replytapi kalau kata-kata "Saya Pasrah" kayanya saya ngga setuju deh, soalnya pasrah itu kan berarti sudah tanpa usaha, padahal ... segala sesuatu yang baik dihasilkan dengan adanya usaha. Semangat ka pin!
Aku kurang setuju. Bedakan antara "pasrah" dan "menyerah". Justru pasrah itu ketika kamu udah usaha, kemudian memasrahkan hasilnya kepada Tuhan. Sementara menyerah, kamu belum berusaha tapi udah pesimis duluan. :)
ReplyMungkin bisa jadi referensi, ini yang aku temuin di artikata.com tentang definisi kata "pasrah":
1. menyerah(kan) sepenuhnya: marilah kita -- kpd takdir dng hati yg tabah; ia -- kpd apa yg akan diputuskan oleh pengadilan.
Soal penggunaan bahasa selalu bikin aku penasaran sih. CMIIW ya. Thank you. :))
Jujur nih jadi serem bacanya kak :l
ReplyEmang segitu rumitnya ya jika usia kita sudah di atas 20 tahun ?
umur Iyah sekarang 17 kak, dan sejak lama sudah berpikir nikah muda, entah itu setelah sarjana atau pun ketika kuliah. membaca tulisan kapin iyah jadi sedikit tergoyahkan akan terwujudnya nikah muda tersebut. tpi jika jodoh sudah di gariskan, Insya Allah kita semua dapat yang terbaik kak, Amiin.
Reply