Bahas Kiri, Tere Liye Menulis Tanpa Membaca (?)

07.51 1 Comments A+ a-



Siapa tak tahu Tere Liye? Anak-anak muda yang (sok) nyastra pasti tau Tere Liye. Minimal sering mendengar soal namanya. Dan sebagai penikmat sastra, gua ga suka dengan tulisan-tulisan Tere Liye. Ah, tapi itu terlalu subjektif kan.

Okelah, gausah bicara soal sastra. Sastra itu kan soal taste, soal rasa. Dan taste setiap orang soal sastra pasti beda. Tapi menyoal menulis, yang akhirnya tulisannya akan dibaca khalayak, harus juga menyoal wawasan. Dan soal wawasan, mari kita lihat.

Yang akan kita lihat adalah tulisan Tere Liye di status facebooknya soal ideologi kiri.

Bukan, opini ini akhirnya tertulis bukan semata-mata karena gua penggemar -kalau memang menyebut penganut dianggap terlalu sok- ideologi kiri. Gua pun banyak berkawan dan terlibat dalam diskusi dengan orang-orang yang tidak setuju dengan ideologi kiri. Namun pada akhirnya ketidak-setujuan kawan-kawan yang gua sebut tadi terhadap kiri tetap berlandas pada pengetahuan sejarah dan wawasan yang benar tentang kiri tadi. Tidak seperti Tere Liye, yang anti kiri, anti HAM tanpa memiliki landasan pengetahuan yang cukup tentang apa yang dibahas. 

Dan ini ngeri, karena Tere Liye sebagai seorang (katanya) sastrawan, lewat tulisan-tulisannya yang konon sangat bijak soal kehidupan itu, banyak menarik hati para anak muda yang membacanya. Dan, sekali lagi, ini ngeri: ketika sesuatu yang ditulis lantas dilandasi dengan wawasan yang sempit, sesempit ruang bercinta di kafe remang-remang murah kayak Kalijodo, lalu tulisan itu "dimakan" oleh pembaca-pembacanya yang barangkali bisa saja langsung dilahap tanpa diverifikasi ulang, tanpa mempertanyakan, "benar atau tidak apa yang ditulis Tere Liye" ; lalu itu bisa saja akan langsung dianggap sebagai kebenaran oleh fanboy dan fangirl Tere. Lalu kesempitan itu tadi -yang kayak ruang bercinta di Kalijodo; sempit, sesak, ga ada sirkulasi udara yang otomatis ga sehat- tetap dianggap "nikmat" karena seks kata-kata Tere Liye yang indah yang memberikan kenikmatan semata-mata.

Misalnya, lihat saja status Tere Liye di facebook belum lama ini. Di tulisan itu, dia menyoal pahlawan Indonesia yang menurutnya hanya berasal dari kalangan religius. Bahkan dia berani bicara kurang lebih gini: "apakah ada pemikir sosialis atau komunis atau HAM, yang berjuang melawan penjajah."

Aduh, gini deh Ter. Gua jadi bertanya-tanya apakah Tere tau presiden pertama sekaligus proklamator Indonesia kan? Semoga tau. Atau jangan-jangan gak tau? Oke gua kasih tau. Nama presiden sekaligus proklamator Indonesia itu Soekarno. Dan (barangkali Tere gak tau juga) dia adalah pahlawan. Nah, Soekarno ini, gua kasih tau ya, dia adalah seorang penggagas Marhaenisme, sebuah ideologi yang disebut sebagai Marxisme yang dimodifikasi ala Indonesia. Nah, Marxisme itu sendiri, adalah ideologi yang didasari oleh pemikiran Karl Marx. Karl Marx itu, Ter, adalah bapak komunisme dunia. Dia dan Friedrich Engels adalah "proklamator" manifesto Partai Komunis. Jadi, Soekarno sedikit banyaknya mempelajari sosialisme, komunisme, yang tadi Tere pertanyakan di status facebooknya.

Itu baru Soekarno. Belum tokoh-tokoh lain, misalnya Tan Malaka. Kenapa Tan Malaka? Karena konsep "Republik Indonesia" -yang kini menjadi nama negara yang Tere bawa-bawa di status facebooknya itu- dicetuskan pertama kali oleh Tan Malaka. Ya, pertama kali kata "Republik Indonesia" diwacanakan lewat tulisan Tan Malaka yang berjudul "Naar de Republiek Indonesia" pada tahun 1925. Baru disusul 3 tahun kemudian oleh Bung Hatta dan Bung Karno pada 1933. Dan Tan Malaka adalah seorang komunis. Dia didaulat sebagai ketua PKI tahun 1920an, dan bicara sebagai perwakilan PKI di ajang Komunis Internasional (Komintern). Bahkan, posisi Tan di Komintern saat itu adalah sebagai (kalau tidak salah) penanggung jawab Asia Timur, sebuah posisi yang saat itu tidak dimiliki oleh tokoh sekaliber bapak bangsa Vietnam, Ho Chi Minh. Dan Tan Malaka, yang notabene tokoh komunis kaliber internasional ini, adalah "guru ideologis" bung Karno. Kalau tak terima dengan penyebutan guru ideologis, tak apa. Tapi setidak-tidaknya, bung Karno pernah ditangkap kolonial Belanda karena menyimpan buku tulisan Tan Malaka yang berjudul Massa Actie pada tahun 1920an.

Oke, cukup soal Soekarno dan Tan Malaka, sebagai pembanding dari statement Tere Liye soal adakah keterlibatan kaum kiri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Kita kembali lagi ke statusnya Tere. Melihat dari status facebooknya Tere Liye, di situ, Tere seolah mengagungkan kaum relijius di atas kaum lainnya. Termasuk Kiri, Liberal dan aktivis HAM. Tersirat dalam statusnya, seolah kaum yang disebut "di luar kaum relijius" tadi adalah orang-orang yang tidak relijius. Tere Liye yang konon sangat keren, mungkin dia gak tau kalau Tan Malaka yang tadi gua ceritakan, yang legenda komunis Indonesia kaliber internasional itu, adalah orang yang sangat relijius. Berangkat dari keluarga bangsawan di Sumatera Barat yang otomatis haruslah sangat relijius, Tan Malaka tetap komunis. Dan sebagai seorang komunis, ia mengaku terang-terangan bahwa dirinya adalah seorang Muslim di ajang Komunis Internasional tadi, lewat kutipannya yang sangat mengguncang, "di hadapan Tuhan aku seorang Muslim, di hadapan manusia aku bukan Muslim."

Dan kalau Tan Malaka masih dianggap kurang untuk dijadikan dasar argumen soal ideologi kiri dan agama, mari kita lihat sejarah PKI. PKI yang jelas-jelas gak perlu ditanyakan kekiriannya, berangkat dari organisasi keagamaan. Ya. PKI awalnya adalah Sarekat Islam. Jangan kaget ya, Ter. Faktanya emang begitu. Dalam perjalanan Sarekat Islam (SI) sebagai sebuah organisasi, SI kemudian terpecah menjadi dua, yakni SI Putih dan SI Merah (pimpinan Semaoen). Singkat cerita, SI Merah inilah yang kemudian bermetamorfosa menjadi PKI.

Nah, semoga fakta-fakta tadi bisa menjadi pembanding dari pernyataan-pernyataan yang dianggap benar oleh Tere (yang kemudian ternyata gua lihat lebih sebagai pernyataan orang yang sebenarnya gak tau tentang apa yang dia nyatakan). Dan satu lagi Ter, fakta-fakta d atas bukan fakta yang sulit ditemukan. Kalau malas ke perpustakaan atau toko buku, toh Tere pasti ada handphone dan ada internet. Dan itu semua tersedia di Google asal mau mencarinya.

Mungkin Tere malas membaca karena sudan merasa hebat sebagai penulis, sehingga tak perlu lagi membaca. Tapi mungkin Tere juga lupa, sebelum seorang anak diajari menulis, dia diajar membaca dan mengenal huruf terlebih dahulu. Artinya? Baca sebelum tulis. Membacalah sebelum menulis. (Jesse Adam Halim)

1 komentar:

Write komentar
Annisa Ratu
AUTHOR
31 Desember 2017 pukul 05.40 delete

miris yaaa masalah mendasar justru gak diketahui sama penulis sekelas tere liye :'( btw aku selalu penasaran dengan buku2 tere liye, tapi tiap ke toko buku gak pernah jadi beli bukunya, keburu habis nih hehe katanya udah gak cetak lagi ya? eh jadi ngomongin bukunya tereliye.

Reply
avatar