Gendam Si Pria Gundam
Seperti biasa di setiap hari Sabtu saya bangun hingga siang.
Jam setengah sebelas saya terbangun dan segera mengecek Twitter. Ada kabar apa
ya yang lagi banyak diperbincangkan? Ada gosip aneh lagi gak ya? Ada acara yang
bagus gak ya? Aha!
Salah seorang teman mentwit tentang Jakarta Toys Fair. Hey,
acara apa ini? Sepertinya menyenangkan! Belum lagi ketika akun @JakToysFair
mentwitkan sebuah foto diorama Lego. Alamak, banyak lego di sana! Kebetulan akhir-akhir
ini saya sedang begitu nafsunya dengan mainan Lego. Bahkan tiap hari saya ke
toko mainan di mal terdekat dari kantor untuk melihat-lihat mainan kotak-kotak
lucu itu. Saya pun bercita-cita untuk bisa membuat Lego City di rumah. Akankah terwujud?
Jam setengah tiga sore saya berangkat dari rumah menuju
Balai Kartini. Saya menaiki bus Trans Jakarta ke Kuningan dengan waktu tempuh
satu jam. Macetnya Subhanalloh sekali. Namun saya tetap bersabar demi bisa
memboyong seperangkat Lego. Hihi.
Dengan harga tiket masuk sebesar 30 ribu rupiah, saya bisa
masuk ke Jakarta Toys Fair (JTF) dan menikmati surganya mainan. Semua jenis
Lego terdampar bahkan hingga ada diorama keren yang berisi kreasi Lego. Beberapa
jam saya mengitari arena surga Lego sambil memilih Lego edisi apa yang ingin
saya beli. Rasanya ingin saya membeli seluruh mainan Lego yang ada, namun
siapalah saya ini, hanya seorang karyawati swasta bergaji pas-pasan. Halah.
Hahaha.
Jujur saja, harga mainan Lego begitu mahalnya bagi saya.
Saya pun lalu mengelilingi Balai Kartini sambil berharap bisa mendapatkan
mainan Lego yang lebih murah. Hasilnya? Nihil, mainan Lego tidak ada yang
murah. Bahkan figur kecilnya pun dijual dengan harga mulai dari 50 ribu hingga
700 ribu rupiah. Hello, figura sekecil upil lho itu. Mending beli sepatu, deh.
Di tengah penelusuran saya menemukan seperangkat Lego-Legoan
yang berasal dari Cina. Not bad, harganya murah sekali hanya 100 ribu saja. Tanpa
basa-basi lagi saya membelinya. Selain murah, permainan ini memicu otak saya
untuk berpikir keras. Karena untuk merakitnya sungguh tidak mudah. Ya setidaknya
otak saya bisa diajak untuk berpikir keras. Tidak melulu berpikir hal-hal
jorok. Eh.
Seusai membeli Lego-Legoan, saya ke tempat penjual Gundam.
Bertanya ini-itu, namun tetap saya masih bingung Gundam mana yang ingin saya
beli. Rencananya saya ingin membeli Gundam untuk adik dan hadiah lomba blog di
kancut-beringas.blogspot.com. Naluri seorang perempuan pun datang: Pantang
Membeli Sebelum Keliling! Saya kembali mengelilingi Balai Kartini sambil
bertanya-tanya tentang Gundam. Dan tidak terasa saya kembali ke tempat penjual
Gundam pertama. Kali ini saya bertemu seorang penjaga. Seorang pria muda
berkaos biru dan berambut ikal.
Beberapa kali saya bertanya kepadanya tentang harga dan
spesifikasi Gundam. Beberapa kali saya pun meminta maaf karena banyak bertanya,
maklum saya benar-benar awam soal dunia Gundam. Apa itu HG? MG? Perbedaannya
apa? Dengan sabar dan berbagai guyonan, si penjaga itu melayani saya.
“Kancut Keblenger apaan, sih?” Tanya ia sambil melihat topi
yang saya pakai.
“Oh, nanyain yang di topi? Ini sebenarnya nama buku,
royaltinya buat charity sama anak-anak kanker, lho.”
“Tentang apa bukunya? Kok namanya Kancut?”
“Bukunya tentang kisah cinta di dunia maya. Namanya kenapa
Kancut? Googling, gih.”
“Kayaknya pernah lihat tuh buku, deh. Btw namanya siapa?”
“Saya? Ada deh...”
“Ye! Masa ada deh? Eh kamu mirip Arale.”
“Siapa pula itu?”
“Yang ada di Dragon Ball. Habisnya kamu pakai topi pink sama
kacamata, mirip banget kan tuh jadinya.”
Di tengah sisa baterai handphone, saya Googling tentang
Arale. Si pria itu pun Googling tentang buku saya melalui iPadnya. Saya lalu
memutuskan untuk keliling sebentar dan berjanji akan kembali ke tempat
penjualan Gundam itu. Karena saya masih dilanda galau, mainan mana yang ingin
saya beli. Gundam, kah? Atau mainan robot-robotan lain di sana yang lebih bagus
dan murah?
Namun setelah beberapa menit berkeliling, saya kembali ke
tempat penjual Gundam pertama tadi. Lalu saya kembali bertanya sedikit tentang
Gundam. Pria itu, Edo, dengan sabar menceritakan tentang Gundam. Bahkan hingga
memberikan foto koleksi Gundamnya yang ada di dalam folder foto smartphonenya.
Niat!
“Banyak amat Gundamnya, gile sebulan beli berapa biji?”
tanya saya hingga berdecak kagum. Saya lalu duduk di sebuah kursi merah. Meminta
Edo untuk membawakan sebuah Gundam pilihannya yang ia sebut lebih bagus dari
pilihan saya yang pertama. Saya memutuskan untuk membeli satu Gundam karena si
adik minta dibelikan barang lain. Gundam yang saya beli harganya cukup
mengenaskan di kantong (baca: sayang banget duitnya mending dibeliin sepatu
daripada mainan), karenanya saya mencoba untuk meminta diskon kepada Edo.
“Tanya bosnya deh kalo mau diskon, gimana bos, bisa gak?”
kata Edo sambil bertanya kepada si bos yang juga kawannya. Si bos hanya
cengar-cengir lalu pergi meninggalkan kami.
Beberapa kali saya meminta diskon dan memberikan alasan, “Ayo
dong, Bang, diskon bisa kali. Tanggung harganya segitu, buat ongkos pulang
tauk!”
“Emang pulang kemana?”
“Grogol”
“Yaudah mau diskon berapa?”
“Um.. jadi segini deh...”
“Ya udah, mau bareng gak pulangnya?”
“Hah?”
Nah, padahal saya hanya bercanda lho meminta diskon
kepadanya. Serius, deh. Kalau pun diberikan, tidak sampai hampir setengah
harga. Belum lagi dia menawarkan untuk pulang bareng. Heh?
*bersambung*
*bersambung*